Senja itu tiba-tiba lampu di komplek kami mati. Tak sepeti biasanya, lampu mati kali ini terjadi di senja hari; karena biasanya pada pagi hari atau siang hari.
Kunyalakan lilin, karena hari sudah mulai gelap. Kuletakkan di atas meja makan. Kunyalakan satu lagi dan kuletakkan di kamar tidur.
"Mati lampu yah?", dia mengucek matanya karena baru bangun tidur. "Iya", jawabku pendek.
Dia berjalan menuju ke kamar mandi, dan sebentar kemudian terdengar guyuran-guyuran air dari kamar mandi itu.
Aku mulai menyiapkan makan malam; mengambil nasi dari penanak nasi, menyiapkan piring dan mengambil sayur, lalu aku menatanya di atas meja makan.
Dia keluar kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Makan malam sudah siap!", aku berkata padanya dengan setengah berteriak dari kamar makan.
Entah kenapa malam ini terasa sangat panjang. Gelap dan sepi. Di meja makan tadipun hanya beberapa patah kata yang meluncur dari bibirnya.
Benar-benar tidak ada yang bisa dilakukan pada saat mati lampu seperti ini. Beku dan diam.
Aku mencoba menyibukkan diri dengan mengutak atik ponselku sambil duduk di kursi tamu. Dia berjalan mendekat dan meletakkan lilin di depanku. Aku meliriknya. Dia tampak kaku dan canggung. Dan dia sepertinya ingin mengatakan sesuatu.
"Maaf yah...", dia mencoba memecah kebisuan. "Hemm?", aku memandangnya dengan penuh tanda tanya.
"Iya maaf.....", katanya lagi sambil berdehem, karena sebelumnya suaranya agak serak. "Jarang sekali yah, kita bisa ngobrol bareng", lanjutnya.
Aku terdiam, karena tidak tahu harus berkata apa.
"Aku tahu, aku terlalu sibuk. Dan kalaupun malam ini tidak mati lampu, kita mungkin tidak bisa ngobrol seperti ini". Dia terdiam dan menatapku, seolah menanti aku berbicara. Aku masih terdiam.
"Waktu memang sangat berharga bagiku, bagimu dan bagi kita. Tapi aku mulai menyadari kalau waktu itu lebih berharga bagi kita berdua, bukan bagi aku atau kamu saja". Dia berbicara dengan serius.
Aku memandang lekat matanya, seolah mencari kebenaran dari semua kata katanya.
"Hemm...iyah aku tau", jawabku tanpa berpanjang kata.
Lalu aku beranjak dari kursi, menuju ke dapur. Kutuang kopi ke dalam cangkir. 2 cangkir aku buat.
Kusodorkan 1 cangkir kopi ke arahnya. Dia tersenyum. Aku juga tersenyum, sambil meneguk kopi dari cangkirku.
Dan malam itu meskipun lampu sudah kembali hidup, obrolan kami tetap berlanjut ke cangkir-cangkir kopi berikutnya......
(Hamamah, 26062012)
Selasa, 26 Juni 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar